Langsung ke konten utama

SAYA TENTANG BUYA HAMKA

Buya Hamka. (google)

Siapa yg tak kenal Buya Hamka? Sastrawan terkemuka dari ranah Minang. Silahkan sebutkan apa yg identik dengan beliau?
Beberapa akan menjawab "Dibawah Lindungan Ka'bah" atau mungkin "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Jawaban di atas merupakan karya legendaris Buya Hamka yg telah difilmkan. Ada lagi jawaban anda untuk beliau?
Jika anda balik bertanya kepada saya, maka akan saya lontarkan 1 kata saja untuk Buya Hamka, yaitu kritis.
Setiap karya sastranya, Buya Hamka selalu menitipkan pesan tersirat. Kalau lah mulut tak tajam menyayat, maka goresan tinta lah pisau beliau.
Pada masanya, VOC yg menjajah negeri ini mengurung pribumi untuk bebas berpendapat. Belum lagi adat Minang yg kokoh berdiri tegap.
Masa emas kejayaan sastra Minangkabau di abad 19 masehi memang tak bisa dipungkiri. Lahir banyak sastrawan dari sana. Salah satunya adalah Buya Hamka.
Sepanjang karya beliau berpindah dari tangan ke tangan, mulut ke mulut, baru dewasa ini diangkat ke layar lebar.
Setelah "Di bawah lindungan Ka'bah" sukses mencuri perhatian, akhir tahun 2013 pun "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" kembali mencuat.
Saya melihat ada beberapa kritikan Buya Hamka terbalut pesan dalam karya tulisnya.
Kali ini, saya akan menyampaikan pesan beliau yg saya tangkap dalam novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Tentu saja pesan ini adalah kritikan pedas dan pukulan keras bagi tanah kelahirannya, Minangkabau.
Pertama, orang Minang itu realistis, terlebih bagi perempuannya. Lebih memandang kekayaan yg mentereng & menyilaukan mata.
Perhiasan yg bergantung pada tubuh, sandang rancak nan mahal, membuat calon bundo kanduang realistis memilih pasangan hidup.
Belum lagi rumah megah dan jabatan tinggi dalam masyarakat. Harta masih menjadi bahan bakar untuk bergerak dan berbuat.
Hal itu disampaikan Buya Hamka pada scene Zainuddin diizinkan tinggal di rumah Mande Jamilah setelah Zainuddin memberikan beberapa Gulden.
Setelanjutnya, Tuan Aziz yg kaya raya meminang Hayati dengan segala cara, termasuk menyodorkan uang untuk Ninik Mamak Hayati.
Hayati yg hidup dalam kemiskinan pun memilih realistis. Menerima pinangan Tuan Aziz yg kaya dan dipercaya bisa menghidupinya.
Pesan itu adalah bentuk kritikan bagi orang Minangkabau. Bahwasanya kekayaan harta terlalu rendah jika disandingkan dengan kekayaan hati.
Kedua, pesan beliau adalah orang Minang gemar berjudi. Mulai dari kalangan bangsawan di pacuan kuda hingga para preman di kedai kopi.
Buya Hamka tahu betul tradisi judi yg mendarah daging di tengah religiusnya orang Minang. "Bajudi" bagaikan hiburan setelah penat bekerja.
Ironis, nama Minangkabau yg melahirkan banyak Ulama terkemuka nusantara dicoreng oleh kebiasaan buruk berjudi.
Buya Hamka menunjukkan betapa berjudi akan merusak apapun, kalah atau menang sama saja.
Dalam cerita, Aziz yg menjadi buah bibir para penjudi menang & selingkuh dengan perempuan Belanda di Padang. Meninggalkan istri sahnya di Padang Panjang.
Menang di meja judi pun membuat Aziz lupa dunia. Mabuk minuman keras & berzina dengan perempuan Belanda.
Saat kalah berjudi di Surabaya, Aziz pun meminjam uang untuk modal hingga tak sanggup membayarnya.
Menyisakan sengsara bukan bagi Aziz seorang. Istrinya, Hayati ikut menanggung kalah judi dan hutang yg menumpuk.
Seorang pegawai Belanda yg kaya, hidup dari keluarga terpandang di Minangkabau pun hancur karena kegemarannya berjudi.
Harta yg melimpah habis, Aziz pun dipecat dari pekerjaannya di Surabaya. Rumah tangganya bersama Hayati pun berantakan.
Pada akhirnya, mereka menumpang tinggal di rumah Zainuddin yg dulu pernah sakit oleh perangai Aziz dan Hayati.
Ketiga, pesan Buya Hamka adalah adat Minangkabau yg kaku. Terlalu memandang segala bentuk cinta dua insan dengan kacamata adat.
Sejak awal cerita saja, Zainuddin yg lahir berdarah Minang Bugis membuatnya menjadi anak pisang yg tak punya suku.
Di Makasar, Zainuddin tak dianggap orang Bugis, begitu pula di Batipuah kampung halaman ayahnya, dia tak dianggap orang Minang.
Pasangan dari laki-laki Minang dan perempuan Bugis bagaikan aib keluarga di keduabelah pihak. Zainuddin lah aib tersebut.
Anak yg dicap tidak jelas asal-usulnya. Tidak jelas nasabnya. Adat yg membuat Zainuddin menjadi aib, bukan atas dasar agama.
Pesan inilah yg kental mengalir seiring berjalannya cerita "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Persetujuan Hayati untuk menerima lamaran rang kayo Tuan Aziz diintervensi oleh rapat ninik mamak yg bermusyawarah bermufakat.
Tentu saja garis keturunan Zainuddin yg dianggap tidak jelas, menjadi pertimbangan utamanya. Belum lagi keadaan Zainuddin yg melarat.
Pada akhirnya, dengan semua tekanan ninik mamak, Hayati menjawab, dia mengikuti bagaimana yg terbaik bagi ninik mamak.
Seperti itukah kejamnya adat Minangkabau bagi dua insan yg saling mencintai dan menyayangi?
Salah satu kebiasaan bagi orang Minangkabau adalah tradisi merantau. Saya rasa, itu adalah tradisi yg membuka paradigma dan pola pikir.
Merantau untuk melihat dunia luar. Agar tidak seperti katak dalam tempurung. Lantas, mengapa adat membuat orang Minang kembali menyempit?
Untuk pesan ini, saya rasa masih kental di kalangan orang Minang. Terbukti dengan adanya film lain berjudul "Salisiah adaik" (Selisih Adat).
Film tersebut secara garis besar menceritakan selisih adat ttg pernikahan di ranah Minangkabau sendiri.
Perilaku melihat latar belakang suku saya rasa adalah tindakan rasis. Apa bedanya dengan membedakan warna kulit?
Di dunia sepakbola internasional saja, tindakan rasis adalah tindak tidak terpuji. Anda tentu tahu dengan kasus rasis Suarez dengan Evra.
Dunia modern sudah tidak memandang latar belakang. Begitu pula latar belakang suku. Ingatlah akan Bhinneka Tunggal Ika.
Itulah tiga pesan Buya Hamka bagi orang Minangkabau yg dapat saya tangkap di novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Kritikan pedas yg tak sanggup disampaikan lisan, hanya lewat karya tulis beliau. Bagaimana pun Buya Hamka adalah putra Minangkabau.
Kebanggaan orang Minang, apapun pesan beliau adalah demi kebaikan. Buya Hamka tidak mungkin menjelek-jelekkan tanah kelahirannya.

Komentar