![]() |
Santri Gontor menuju ruang ujian. (Facebook/Gontorgraphy) |
Manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah lepas dari ujian. Semasa aku masih muda dulu, sering aku dengar kalimat bijak yang berbunyi “Ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian”. Artinya setelah ujian kita akan mengetahui kadar prestasi diri. Apakah kita bodoh atau pun bodoh sekali?
Cobalah kita hitung selama hidup, berapa kali kita melaksanakan ujian?
Entah itu di pendidikan formal atau non formal. Tak terhitung bukan? Namun
semakin kita bertambah umur apakah semakin bertambah pula pemahaman kita dengan
makna di balik ujian tersebut?
Ujian bukan saja duduk hening di dalam kelas dengan menggoreskan tinta di
selembar kertas menjawab soal yang telah disediakan oleh panitia ujian.
Melainkan setiap kegiatan, setiap gerak bahkan mungkin setiap detak jarum jam
dalam kehidupan kita adalah bentuk ujian. Saat ada sebuah duri di jalan yang
dapat membahayakan dan kita lihat itu, bukankah itu bentuk soal ujian kehidupan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa? Setiap mahkluk hidup pun pasti akan melewati
masa-masa ujian.
Perhatikan saja bagaimana semut menyimpan persediaan makanan untuk musim
dingin. Itu karena koloni pendahulu mereka telah melewati ujian paceklik selama
musim dingin. Memaksa mereka untuk tidak bisa keluar mencari makanan. Sehingga
sebelum musim dingin tiba, semut prajurit diperintahkan
untuk mencari makanan sebanyak-banyaknya dan menyimpannya dalam istana mereka.
Barangkali kita hanya melihat itu semua sebatas animal instinct.
Sifat dasar binatang untuk bertahan hidup. Bagaimana pun juga itu adalah salah
satu cara mereka menjawab soal ujian musim dingin. Pada akhirnya semut memang
menguatkan kalimat bijak “Ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian” tadi.
Sementara itu bagaimana dengan kita yang diciptakan sebagai khalifah fil
ardh? Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Selain akal dan pikiran
manusia juga diberi hati.
Manusia yang beragama mempunyai nilai lebih dalam menjawab soal ujian.
Keyakinan akan keberadaan Tuhan membuat manusia berserah diri setelah proses
ujian selesai. Semua jerih payah dalam bentuk usaha sudah dilakukan.
Ada satu kalimat lagi yang masih aku ingat. Semasa aku muda dulu, sekolah
di salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Kalimat itu keluar dari Ustadz
dengan sosok tenang, bersahabat namun
kharismatik. Kalimat itu adalah “Tengadahkan kepalamu sebelum ujian dan
tundukkan kepalamu setelah ujian”.
Ternyata makna di balik kalimat itu adalah bersikap optimis itu perlu demi
menambah percaya diri sebelum masuk ruang ujian. Akan tetapi jangan pernah
lupa untuk tawakkal kepada Allah agar tidak menimbulkan rasa sombong setelah
ujian. Hasil dari sikap itu membuatku merasa lebih nyaman selama menghadapi
ujian. Semoga bermanfaat!
Komentar
Posting Komentar