Langsung ke konten utama

ANAK PULAU PUNYA CERITA

Alat transportasi Pulau Panggang - Pulau Pramuka. (Istimewa)


Kehadiran Kepulauan Seribu di Propinsi DKI menjadi citra dan kebanggaan tersendiri. Kepulauan yang dulu bisa dikatakan tertinggal dari daerah lainnya di Jakarta, sekarang telah berkembang dan maju. Salah satunya adalah Pulau Pramuka. Dengan penduduk lebih dari 500 jiwa dalam luas + 14 Hektar, Pulau Pramuka sekarang mampu berkembang dan menjadi salah satu opsi objek wisata di Kepulauan Seribu. Pulau yang menjadi pusat administrasi pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ini menyimpan segudang cerita bagi pengunjung yang hadir di sana.

Adalah pendidikan. Hal yang harus diperjuangkan anak pulau di sana. Berangkat ke sekolah dengan angkutan umum, motor bahkan mobil pribadi sudah biasa adanya di daratan. Namun di sana, mereka harus menyeberang lautan untuk bisa sampai di tempat mereka mengenyam pendidikan. Zaman serba modern seperti sekarang saja mereka kadang kala masih menemui hambatan demi pendidikan. Mulai dari transportasi, biaya hingga kelengkapan sekolah lainnya. Daerah kepulauan seperti di Pulau Pramuka dan sekitarnya, transportasi memang pasti menggunakan motor (sebutan kapal bagi masyarakat di kepulauan). Lalu lintas perdagangan dan pengiriman barang saja semua memanfaatkan jasa transportasi tersebut.

Hal menarik yang patut kita teladani adalah keteguhan anak pulau untuk menuntut ilmu. Pulau Pramuka memang sudah tersedia jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas. Sekolah Dasar Negeri 02 Pagi, Sekolah Menengah Pertama Negeri 133 Jakarta, Madrasah Tsanawiyah Negeri 26 Jakarta dan Sekolah Menengah Atas Negeri 69 Jakarta. Namun tidak begitu dengan Pulau Panggang yang hanya ada Sekolah Dasar Negeri. Lantas bagaimana dengan jenjang pendidikan mereka? Setelah menamatkan SD, anak Pulau Panggang harus menempuh perjalanan laut + 15 menit ke sekolah mereka selanjutnya di pulau seberang, Pulau Pramuka. Begitu pula dengan siswa SMA. Bahkan ada siswa SD di Pulau Pramuka yang datang dari Pulau Panggang kendati di sana sudah ada SD.


Transportasi bukan penghalang

Berebut turun dari kapal agar tidak terlambat. (Istimewa)


Tidak sedikit dari siswa sekolah di Pulau Pramuka yang datang dari Pulau-Pulau sekitarnya. Dengan tekad bulat menuntut ilmu mereka harus menyeberang, ditemani angin laut dan gelombang. Bagi anak pulau yang sudah merasakan hal itu selama bertahun-tahun, tidak ada yang luar biasa karena itu sudah menjadi makanan mereka setiap hari sekolah.

Terlahir dari keluarga sederhana di pulau seberang tempatnya sekarang menimba ilmu. Irfan Sanjaya Madandan. Siswa SMAN 69 Jakarta yang berasal dari Pulau Panggang. Anak kelas XI IPA ini sudah merasakan semua itu sejak dia berada di bangku SMP. Lima tahun sudah anak dari pasangan Rudi Madandan dan Zubaedah, dengan marga Ambon ini menyeberang laut setiap hari untuk ke sekolah. Irfan (begitu biasa disapa) tidak sendirian. Ada puluhan anak yang ikut bersamanya untuk menyeberang lautan. Jangan berpikir perjalanan mereka menyenangkan! Mereka sedang tidak liburan atau berwisata. Mereka hendak bersekolah. Berbagai kendala, rintangan dan hambatan harus mereka taklukkan. Kendala pertama yang sering dihadapinya adalah rebutan ojek (sebutan kapal angkutan Pulau Panggang-Pulau Pramuka) saat berangkat sekolah. Bahkan anak kedua dari empat bersaudara ini pernah kecebur laut waktu rebutan ojek.. Maklum saja, ada puluhan siswa yang mengejar waktu demi tiba di sekolah tanpa terlambat dengan armada transportasi yang terbatas. Irfan harus mengganti semua buku-buku pinjaman dari sekolah lantaran rusak dan basah karena kecelakaan itu. Ketua Rohis di sekolahnya ini sudah bangun pagi untuk shalat subuh dan langsung siap-siap ke sekolah. Bahkan sudah stand by di dermaga pulaunya pukul enam pagi. Lupakan sarapan. Kebiasaan seperti itu membuat Irfan baru bisa sarapan begitu sampai di sekolah. Kendala selanjutnya adalah Lumba-Lumba (nama kapal khusus siswa) yang ditumpanginya mogok di tengah laut. Mengalami kerusakan mesin atau lain hal. Irfan dan teman-temannya harus menunggu armada lain untuk transit mendadak di tengah laut. Sehingga mereka harus rela kehilangan tepat waktunya ke sekolah. Selanjutnya adalah hambatan dari alam. Hujan, musim ombak dan angin. Bilamana alam yang sudah tidak bersahabat lagi maka nyawa-Lah yang mereka taruhkan demi pendidikan. Masyarakat kepulauan memang paling takut dengan angin barat daya. Nelayan tidak melaut. Transportasi ke Muara Angke saja tidak berani mengangkut penumpang lantaran pernah ada kejadian tenggelamnya kapal saat badai. Bahkan menurut Pak Bahdar, salah seorang Guru, pada zaman sekarang sudah lumayan enak. Pada masa beliau sekolah, kapal sebagai alat transportasi hanya menggunakan dayung, bukan mesin diesel seperti sekarang. Terbayang sudah perjuangan untuk sekolah pada masa dahulunya.

Siswa-siswi asal Pulau Panggang tidak diperkenankan bertempat tinggal di asrama, fasilitas dari sekolah. Asrama diberikan sebagai tempat tinggal bagi siswa-siswi asal pulau yang lebih jauh jarak tempuhnya dari Pulau Pramuka. Irfan dan anak Pulau Panggang lainnya harus pulang pergi setiap harinya. Mereka diberi fasilitas transportasi berupa ojek gratis untuk waktu-waktu tertentu. Hanya saja untuk kelas XII tepat sehari sebelum Ujian Nasional (UN), semua siswa diberi fasilitas penginapan di asrama. Bagi yang tidak punya saudara di Pulau Pramuka, biasanya mereka menginap di asrama. Hal itu agar semua peserta UN diharuskan untuk fokus dengan ujian, tidak repot dengan kendala keberangkatan mereka ke sekolah.

Irfan bertekad mengadu nasib ke Jakarta. (Istimewa)

Irfan pernah tidak pulang lantaran ketinggalan ojek. Kalau pun masih ada ojek, Irfan harus membayar dengan uang saku sendiri. Begitu pula saat mengerjakan tugas dari sekolah yang membutuhkan akses internet. Di pulau tempatnya tinggal memang tidak ada akses internet untuk umum, hanya dimiliki dan dimanfaatkan secara pribadi. Di Pulau Pramuka saja, akses internet untuk umum seperti warnet hanya ada di satu tempat. Selain itu pula, listrik di pulau ini hanya tersedia dari pukul 4 sore hingga 7 pagi dark PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel). Kalau sudah seperti itu Irfan tidak pulang dan mau tidak mau harus menginap di rumah Guru atau temannya. Anak yang bercita-cita ingin menjadi guru ini sekarang sudah merasakan semuanya sebagai asam garam pendidikan yang terpaksa dilewati. Bahkan tidak menghalanginya untuk berprestasi. Nyatanya dalam hal prestasi Irfan termasuk 5 besar di kelasnya saat semester ganjil kemarin. Sebuah kebanggaan yang akan dia bawa pulang ke pulaunya. Berbagai prestasi sekolah sudah Irfan dapatkan semenjak duduk di bangku SMP. Walaupun tidak menjadi yang nomor satu di kelasnya, namun Irfan termasuk anak yang cerdas. Irfan juga pernah mengikuti KIR (Karya Ilmiah Remaja), utusan dari sekolahnya. Saat itu karya tulis yang Irfan utarakan berdasarkan analisisnya terhadap keberadaan pengunjung yang dewasa ini berlibur di Pulau Pramuka. Membahas dampak positif dan negatifnya kenaikan angka pengunjung di Pulau Pramuka. Untuk sekolahnya, salah satu utusan berhasil menjadi Juara Ketiga se-DKI dengan inovasi membuat tinta pena dari tinta cumi-cumi.

Tidak jauh berbeda dengan Irfan. Mentari Fitrianingsih, siswi SMAN 69 Jakarta asal Pulau Sabira. Jarak tempuh dari kampung halamannya ke sekolah menempuh + 5 jam perjalanan laut. Hampir sama dengan Pulau Panggang, di Pulau Sabira tersebut hanya ada SD dan SMP. Di Pulau Pramuka, Mentari (panggilan akrabnya) memilih tinggal di kost ketimbang di asrama. Sekalian untuk belajar mandiri. Siswi peringkat keenam di kelasnya ini mempunyai tekad untuk mengharumkan nama pulaunya di sekolah. Mentari mengaku ada tiga orang yang sekolah di SMAN 69 Jakarta dari Pulau Sabira. Apabila ada biaya untuk melanjutkan study, Mentari berniat memilih kuliah untuk menjadi Polisi Wanita atau Guru. Berbeda dengan Irfan, anak berkacamata ini lebih memilih untuk mengabdi di daerahnya. Sedangkan Irfan bertekad untuk mengadu nasib di perkotaan. Perbedaan prinsip adalah hal yang biasa. Namun tekad dan keuletan mereka untuk berada di bangku sekolah, itulah yang luar biasa dan patut di contoh.

Segala keterbatasan yang ada tidak membuat anak-anak pulau enggan untuk mengenyam pendidikan dan berprestasi. Beberapa bulan lalu, siswi kelas XI IPS utusan dari SMAN 69 Jakarta ini berhasil terpilih sebagai “None Wira Palang Merah Indonesia Favorit se-DKI Jakarta” bernama Mila Rahmadian. Sebuah prestasi yang membanggakan dan mengharumkan nama sekolah dan pulaunya. Menurut Pak Marsudi selaku Kepala Sekolah, alumni angkatan pertama sekolah ini bahkan ada yang sekarang berada di Swiss untuk melanjutkan study S3-nya sambil kerja. Selain itu pula, Kamaludin Siregar Lulusan tahun 2006 yang sekarang mendapatkan beasiswa S1 dari Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu untuk kuliah di STP (Sekolah Tinggi Perikanan) Pasar Minggu.

Dari kalangan Guru. Selain dari pulau sekitar, ada pula yang berasal dari darat (sebutan Pulau Jawa bagi masyarakat kepulauan). Salah satunya adalah Dodhi Puryanto. Lulusan S1 UNJ tahun 2010 dan berasal dari Cipulir Jakarta Selatan. Dari semenjak kuliah memang Pak Dodhi ingin sekali untuk mengajar di daerah terpencil di luar Jakarta. Bahkan tujuan pertama setelah lulus kuliah adalah Papua, namun tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Setelah mendapatkan informasi dari temannya bahwa di Pulau Pramuka membutuhkan staf pengajar di sekolah, pria yang suka tantangan ini langsung bertekad menjadi Guru di sana. Beliau mengaku terinspirasi semenjak sering berkunjung ke daerah-daerah terpencil saat terjadi bencana. Kelahiran tahun 1985 ini memang aktif di Palang Merah Indonesia dan ikut dalam penanggulangan pasca bencana. Sejak bulan Juli 2010 akhirnya beliau mulai mengajar di SMAN 69 dan tinggal di mess yang berdekatan dengan asrama siswa sekaligus menjadi pembina asrama di sana. Dengan waktu yang singkat itu Guru Geografi ini merasa sudah betah dan ingin tetap mengajar di sana.

Bagi anak-anak pulau seperti Irfan dan Mentari, mungkin kisah Para Nabi yang mereka sukai adalah kisah Nabi Nuh AS yang diperintahkan oleh Allah untuk membuat sebuah bahtera besar bagi pengikutnya. Dengan misi menyelamatkan umatnya dari banjir besar yang akan terjadi. Atau kisah Nabi Yunus AS yang mempunyai mukjizat hidup dan selamat setelah sekian hari berada di dalam perut ikan paus. Atau bisa jadi kisah Nabi Musa AS yang memiliki mukjizat membelah laut merah dengan tongkat saktinya. Bagi mereka laut adalah teman yang bisa memberi mereka penghidupan walau terkadang laut pun sesekali tidak bersahabat dengan mereka. (re)
*Tulisan ini dimuat di Majalah Muzakki edisi Mei 2011.

Komentar

  1. Wah keren. Terimakasih atas tulusannya. Kemarin saya dr pulau pari, hanya ada sd dan smp. Untuk SMA harus menyebrang ke pulau tidung. Perjuangan yg menginspirasi dr anak anak pulau :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali sudah singgah di tikar saya.

      Hapus

Posting Komentar