Hampir rapuh semangat ini. Menyelesaikan kuliah tepat waktu, sesuai target. Mahasiswa strata 1 mana yang tidak menargetkan lulus dalam empat tahun atau kurang? Aku rasa sejak awal perkuliahan semua mahasiswa pasti sudah bertekad untuk itu. Sehingga tidak mengecewakan siapapun, terutama orang tua. Bangga rasanya bisa lulus cepat, sesuai target dan pulang memboyong tambahan nama belakang sesuai jurusan yang diambil. Lebih dari itu, membawa segudang ilmu yang telah dipelajari di kampus selama kuliah untuk diamalkan. Begitu pula denganku. Target empat tahun wisuda.
Namun secercah harapan itu kini hampir sirna diselimuti kabut dan awan hitam. Masih ada birokrasi yang super merepotkan bagiku dan juga teman-teman lain yang se-angkatan. Apalagi aku adalah orang yang pernah memberi motivasi kepada teman-teman agar segera menyelesaikan kuliah. Pasti membanggakan. Dan semua teman-teman setuju dengan itu. Aku akan malu bila ucapanku itu tidak membawa dampak kepada diriku sendiri.
Ya. Harapanku untuk lulus tepat waktu lenyap saat judul skripsi yang aku ajukan ternyata ditolak. Padahal aku sudah mempersiapkannya semenjak semester enam. Konsep, objek, metodologi dan lainnya sudah ada dalam catatan kecilku. Semua itu hanyut dan hilang dalam sekejap tepat saat seminar proposal. Panas semusim terhapus oleh gerimis sesaat. Aku bukannya tidak berusaha, argumentasi yang ku lontarkan terbuang percuma. Hanya buang-buang amunisi tanpa sasaran yang tepat. Penguji seminar proposal ternyata sangat kuat untuk menerobos masuk ke dinding pertahananku. Bahkan menganjurkan untuk mengambil judul yang sama sekali tidak membuatku tertarik.
Kontan saja perlakuan itu membuatku tertunduk lama dan sukar untuk mengangkatnya kembali. Sesekali aku ceritakan kabar buruk bagiku itu kepada teman-teman. Berharap ada yang memotivasiku untuk terus mencoba. Hampir semua membalas “sabar”.
Bukan itu yang aku butuhkan. Hal itu membuatku uring-uringan. Sabar saja tidak cukup. Masih ada setelah kata sabar itu sendiri. Kegelisahanku pun ikut menghiasi wall di salah satu jejaring sosial. Beberapa status bahkan jelas menggambarkan bahwa aku sedang gundah gulana.
Kali ini aku bisa sedikit tersenyum. Aku kembali terbakar semangat saat temanku di Padang memberi komentar di statusku. Roni Pasla namanya. Lulusan FE Unand. Sosok sederhana dan setia kawan. Selain kata sabar, dia menuliskan kalimat yang membuat mataku berkaca-kaca. “Bro!! Jangan sampai keringat orang tuamu di kampung melebihi keringatmu di sana!”. Kalimat itulah yang selalu diingat oleh Roni saat dia ingin menyerah dalam segala perjuangan hidupnya. Menjadi jimat ampuh baginya. Sangat mencengangkan, kalimat itu ternyata dulu keluar dari lisanku sendiri kata Roni. Aku mengucapkannya saat dia sedang patah semangat seperti yang kurasakan saat ini. Aku sama sekali tidak percaya, tapi begitulah adanya. Kalimat itu kini kembali kepadaku.
Sekilas aku teringat seseorang yang ku panggil Apak. Rambutnya yang mulai putih. Kulitnya yang tak lagi kencang. Kemudian aku membayangkan seseorang yang ku panggil Amak ada di sampingku. Kasih sayangnya yang tak berujung. Nasehat khas yang terus dia sampaikan kepadaku. Mereka adalah orang tuaku. Aku tertunduk lagi. Bukan karena patah semangat, tapi karena aku tidak ingin mereka kecewa. Aku akan tetap fight untuk kelulusanku kali ini, dan akan terus membuat mereka bangga. Love you, Dad! Love you, Mom! (re)
*Tulisan ini dimuat di Buletin INSIGHT edisi Mei 2011. Lembaga Pers & Penerbitan Pimpinan Cabang IMM Ciputat.
Komentar
Posting Komentar