Langsung ke konten utama

DILEMA KEMBALIAN PERMEN


Niaga adalah salah satu pekerjaan yang mulia. Asalkan dilaksanakan berikut ketentuan-ketentuannya dalam Islam. Rasulullah SAW pada masa lajangnya adalah seorang pedagang, dipercaya oleh Siti Khadijah yang kemudian menjadi istri pertama beliau. Bahkan Nabi Akhir Zaman itu pernah bersabda bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki di dunia ini adalah berniaga. Jual beli yang dimaksud tentunya sesuai dengan syariat Islam. Muamalah tersebut harus memberlakukan adanya syarat-syarat jual beli, rukun jual beli dan syarat-syarat muamalah. Namun seiring dengan perkembangan zaman, jual beli yang dahulunya ditandai dengan akad dalam bentuk ijab kabul antara pembeli dan penjual. Penjual dan pembeli melaksanakan akad itu seperti halnya akad nikah. Berjabat tangan kemudian mengucapkan lafadz ijab kabul tersebut.
Hal itu adalah bentuk konkrit ajaran Islam untuk menjaga agar tidak adanya unsur penipuan pada transaksi jual beli. Namun hal itu sekarang sudah mulai hilang bahkan punah. Kemajuan zaman menuntut semua pelaku bisnis untuk bisa bertransaksi secepat mungkin. Harga cocok dan sesuai permintaan pembeli maka transaksi langsung dilakukan. Bahkan dengan teknologi internet, transaksi jual beli sudah bisa dilakukan secara online. Tanpa ada tatap muka antara pembeli dan penjual. Barang yang diperdagangkan hanya keterangan spesifikasi beserta gambar. Kemudian pembeli membayar harga barang via ATM, e-banking atau SMS banking. Setelah pembayaran online selesai, penjual mengirimkan barang tersebut ke alamat yang diminta pembeli. Jual beli demikian menuai pro dan kontra. Banyak yang membolehkan, tapi tidak sedikit pula yang melarang. Berbagai argumentasi menjadi tameng keputusan membolehkan dan melarang. Tetapi paling tidak ajaran Islam sudah menjaga kemurnian jual beli dari unsur kecurangan. Berbagai transaksi yang super canggih tersebut nyatanya dewasa ini banyak memakan korban. Baik itu penipuan, barang tidak sampai ke tangan pembeli hingga barang tidak sesuai spesifikasi yang telah disepakati.
Dalam kaidah usul fiqh, semua yang menyangkut muamalah itu adalah boleh kecuali bila ada dalil yang melarangnya. Maka dari itu, jual beli dalam bentuk apa pun hukumnya boleh kecuali bila ada dalil yang melarang jual beli tersebut. Perintah larangan itu bisa saja karena proses jual beli, sistem jual beli, objek jual beli dan sebagainya. Awal prinsip jual beli adalah ‘an taraadhin. Saling ridha atau sama-sama rela.
Berbagai strategi pemasaran bahkan sudah mulai menggeser prinsip-prinsip jual beli dalam ajaran Islam. Salah satu yang banyak kita temukan adalah harga barang tidak sesuai dengan pecahan mata uang yang berlaku. Beberapa swalayan menggunakan salah satu strategi pemasaran dengan dari sisi price. Harga barang dibanderol dengan kesan murah. Persaingan harga antar peritel berlaku dalam hitungan puluhan rupiah. Misalnya, pada swalayan “kuning” harga barang A adalah Rp 12.000,- berbeda dengan swalayan “biru” yang memasang harga barang A adalah Rp 11.990,-. Konsumen yang menilai otomatis akan melihat swalayan “biru” lebih murah dari swalayan “kuning”. Artinya strategi pemasaran swalayan biru berhasil. Padahal bilamana konsumen bisa lebih teliti dan kritis. Perbedaan harga itu hanya Rp 10,-. Bisa saja pada swalayan “kuning” harga Rp 12.000,- sudah termasuk pajak, namun tidak untuk swalayan “biru”. Maka bisa dipastikan harga pada swalayan “biru” lebih mahal pada saat konsumen membayarnya di kasir. Bahkan salah satu swalayan yang memasang harga dengan pengurangan Rp 10,- per barang menjawab, bahwa harga awal Rp 10.000,- yang menjadi Rp 9.990,- karena adanya bentuk donasi sebesar Rp 10,- per barang. Bilamana pengurangan dari harga awal Rp 10.000,- menjadi Rp 9.965,- maka selisihnya sebesar Rp 35,- akan didonasikan.
Dr. Phil. JM Muslimin, MA, Pudek III Kemahasiswaan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melihat hal itu sebagai bentuk kezaliman terhadap konsumen. Peritel dalam hal ini sebagai penjual harusnya bisa menjaga hak konsumen. Jual beli seperti itu tidak transparan. Konsumen menjadi korban dari bentuk penyembunyian informasi. Terlalu banyak hak konsumen yang tidak diperhatikan. Salah satunya adalah kembalian dalam bentuk permen. Namun hal itu sudah diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Aturan pengembalian dalam transaksi ritel. Mengembalikan dalam bentuk permen akan melanggar UU tersebut dan termasuk bentuk pidana.
Konsultan di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Syariah & Hukum  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini melanjutkan bahwa selayaknya peritel tetap menjaga hak-hak konsumen. Donasi tidak bisa menjadi alasan dalam hal tersebut, karena konsumen tidak tahu donasi tersebut disalurkan ke lembaga mana. Kemudian belum tentu pula konsumen mau berdonasi. Hal itu adalah bentuk pemaksaan donasi terhadap konsumen. Bahkan konsumen tidak semua tahu akan hal itu. Donatur pun memiliki hak untuk tujuan penyaluran donasi. Prinsipnya penjual harus betul-betul menjaga hak-hak konsumen, transparan, harus terdapat unsur ‘an taraadhin, hilang dari segala sesuatu yang bersifat gharar atau kecurangan dan terhindar dari unsur spekulasi. Jual beli dengan unsur spekulasi bisa saja masuk kategori maysir atau judi. Seharusnya peritel tidak menafikan hak-hak konsumen tersebut.
Lebih dari itu. Bentuk donasi tersebut adalah bahasa lembut kepada konsumen. Bahkan peritel mengklaim bahwa donasi tersebut adalah bentuk dana CSR (Corporate Social Responsibility). Memang setiap perusahaan besar harus memiliki kepedulian sosial terhadap lingkungan. Hal terburuk bilamana perusahaan ritel tersebut mengambil donasi untuk CSR perusahaan. Akhirnya peritel mengambil CSR dari donasi konsumen. Pada hakikatnya CSR itu sendiri diambil dari total keuntungan perusahaan ritel, bukan membebani kepada konsumen.
Dalam transaksi jual beli, antara penjual dan pembeli selayaknya saling menguntungkan karena memang keduabelah pihak tersebut saling membutuhkan. Pembeli membutuhkan barang dan penjual mencari keuntungan dalam semua transaksi tersebut. Maka dari itu, penjual dan juga pembeli harus saling bekerjasama dalam menjaga kemurnian transaksi jual beli tersebut. Jangan sampai saling menjatuhkan satu sama lain. Konsumen sudah saatnya mengetahui informasi tersebut dari pihak perusahaan ritel. Agar semua transaksi dalam nilai jutaan rupiah per hari di perusahaan ritel tersebut tidak tabu dan terhindar dari praktek kecurangan.
Zaman yang serba modern sekarang lebih membutuhkan semua hal yang serba cepat. Bentuk akad dengan lafadz ijab kabul antara penjual dan pembeli hampir tidak mungkin dilaksanakan. Paling tidak unsur ‘an taraadhin atau sama-sama rela harus tetap terjaga dalam setiap transaksi jual beli. Bagaimana konsumen menanggapi harga yang tidak sesuai pecahan mata uang rupiah tersebut? Dengan kejelasan semua unsur jual beli tersebut maka dapat dipastikan hak-hak konsumen akan tetap terjaga dan konsumen pun tidak merasa dizalimi. (re)

*Tulisan ini dimuat di Majalah Muzakki Edisi Juni 2011

Komentar